Naluri Sandra Dewi untuk berbisnis tak bisa dibendung. Apapun bisa ia sulap menjadi uang. Sementara, Sang Papi malah tak menyetujui.
Sedari kecil aku hobi makan. Uang jajanku untuk jatah seminggu kadang habis dalam waktu tiga hari. Gara-gara ingin mendapatkan uang jajan lebih, aku selalu berpikir untuk mendapatkan uang sendiri. Seperti ketika duduk di kelas 3 SD, aku membuat amplop dari kertas kado untuk dijual ke teman-teman. Mereka pikir, lucu juga, ya, ada amplop berbunga-bunga.
Lalu, kalau berlibur ke rumah nenek di Jakarta, aku selalu membeli barang untuk dijual di Pangkal Pinang. Makanya sebelum berangkat ke Jakarta, aku ngumpulin uang banyak-banyak. Gara-gara otak bisnisku itu, tabunganku pun banyak. Aku bisa membeli sendiri mainan atau baju terbaru.
Saat duduk di SMP aku buka taman bacaan di rumahku. Kebetulan aku suka membaca buku, dan koleksi bukuku cukup banyak dan lengkap. Daripada buku-buku itu hanya teronggok sia-sia lebih baik disewakan. Satu buku disewakan Rp 50 sampai Rp 100. Modal awalnya meja kursi dan papan tulis. Taman bacaan itu aku konsep seperti taman. Di bawah pohon rindang dan di antara tanaman bunga. Benar-benar taman baca yang menyenangkan. Dengan konsep itu taman bacaanku cukup dikenal orang.
Oh ya, disamping itu aku juga rajin membuat bunga-bunga dari plastik, dan dijual ke teman-teman Mami, teman, dan kerabat dekat.
Sementara menginjak kelas 1 SMU aku lebih suka berbisnis baju dari pada bermain. Aku sering membawa dagangan baju dari teman Mami, untuk dipasarkan ke teman sekolah atau tetangga. Prinsipku, aku ambil untung sedikit agar daganganku cepat habis. Ternyata memang laris. Aku juga melayani jual beli handphone dan pulsa. Dari keuntungannya aku malah bisa beli handphone terbaru.
Undang 2000 Orang
Ketika ulang tahun ke-17 aku mendapat kejutan dan dimanjakan oleh orang-orang dekatku. Nenek merayakannya dengan mewah dan meriah. Bayangkan, di Pangkal Pinang, ulang tahunku dirayakan di gedung dengan mengundang sampai 2000 orang! Kata nenek, sebagai cucu pertama, aku berhak mendapatkan itu.
Tak hanya itu, Papi dan Mami memberi surprise dengan kado sebuah mobil Suzuki Sidekick warna hitam. Semuanya hitam. Mobil itu limited edition di Indonesia. Kata Papi dipesan secara khusus. Semuanya sudah dimodifikasi. Pokoknya mobilku satu-satunya di Pangkal Pinang. Kalau lewat semua orang tahu kalau itu mobilku.
Rupanya Papi diam-diam sudah menyiapkan mobil itu untukku. Ceritanya, sebelumnya aku pernah ngomong ke Papi, enggak serius sih, keren juga kalau punya mobil yang semuanya serba hitam, sampai peleknya juga hitam. Ternyata Papi mewujudkan keinginanku. Aku benar-benar surprise dan bahagia sekali.
Melihat aku berbisnis, sebetulnya Papi menentang. Ya, Papi malu, semua kebutuhanku sudah terpenuhi, kok aku masih bawa-bawa dagangan di mobilku yang hitam itu. Sebab, mobilku penuh barang daganganku. Habis bagaimana, aku suka kok dengan aktivitasku itu. Aku pun berprestasi di sekolah.
Gara-gara kesibukanku berbisnis dan belajar itu, aku enggak sempat berpikir untuk pacaran. Kalau ditannya siapa cinta pertamaku, mungkin dia adalah tetanggaku. Cowok ini jauh lebih tua dariku. Ketika itu, dia sudah meneruskan kuliah di luar negeri, sedangkan aku masih SMP. Sepertinya keren banget kalau ada pria kuliah di luar negeri. Kesannya cakep dan pintar. Aku suka mencuri-curi pandang. Ketika dia pulang ke Pangkal Pinang untuk liburan, aku dan teman-teman sering mondar-mandir di depan rumahnya. Hahaha... Sampai sekarang dia enggak tahu kalau aku naksir dia. Dasar cinta monyet, ya.
Menaklukan Jakarta
Akhirnya tiba waktuku untuk merantau ke Jakarta. Sebetulnya sedih juga, ketika aku dan teman-teman harus berpisah setelah lulus SMU. Kami memang punya cita-cita masing-masing. Ada yang memtuskan untuk kuliah kedokteran ke Pulau Jawa atau kuliah ke luar negeri. Pokoknya saat-saat itu paling menyedihkan.
Aku sendiri ingin kuliah di jurusan Public Relations atau PR di Jakarta. Jauh-jauh hari aku sudah mengutarakan hal itu ke Papi dan Mami, sebab di Pangkal Pinang tak ada jurusan itu. Mereka sempat bertanya mengapa aku memilih jurusan itu. Aku pun menjelaskan, bahwa jurusan itu sangat sesuai dengan minat dan duniaku. Mereka pun mendukung.
Papi mengantarku saat mengikuti tes kuliah di Jakarta pada Agustus 2001. Mulanya aku cukup kaget, sebagai anak daerah melihat orang Jakarta canik-cantik, modis dan bersih. Untung nilai tesku cukup bagus dan aku langsung diterima, jadi enggak perlu balik lagi ke Pangkal Pinang. Selama di Jakarta aku tinggal di rumah paman di daerah Jelambar, Jakarta.
Awal ke kampus aku sempat diantar paman, namun hari berikutnya aku enggak mau ngerepotin. Aku merasa harus belajar naik kendaraan umum sendiri agar mandiri. Agar tak terlambat pagi-pagi jam 6 aku sudah berangkat, tapi aku baru sampai jam 9 alias terlambat, gara-gara salah naik bus. Karena sering salah naik bus aku memilih naik taxi dengan risiko biaya transportasi yang tinggi.
Papi sendiri sempat datang lagi ke Jakarta untuk mengajarkan aku naik kendaraan umum yang benar. Kata Papi, begini risiko tinggal di Jakarta, jika enggak kuat, dipersilahkan kembali ke Pangkal Pinang. Jelas aku tetap mau di Jakarta. Aku membulatkan tekad untuk lebih kuat dan harus bisa.
Tak hanya soal transportasi, di kampus aku juga harus melakukan banyak penyesuaian. Kalau di daerah, teman-teman di kelas kebanyakan diam dan enggak aktif jika tidak mengerti. Jika ditanya ngumpet. Namun di Jakarta aku kaget, melihat betapa teman-temanku aktif bertanya jika enggak ngerti. Lalu berdiskusi. Wow, seru nih. Aku pun memberanikan diri untuk aktif di kelas.
Salah satu jalan supaya aku betah dan kuat di Jakarta adalah berteman dengan banyak orang. Benar juga, lama-lama aku punya teman satu perjalanan. Temanku yang punya mobil selalu ngajakin bareng karena melewati kawasan three in one (semobil harus 3 orang). Kami bertiga selalu bersama pulang dan pergi. Setiap pulang kuliah kami selalu tidak langsung pulang. Kami jalan-jalan ke mal atau cari makan di pinggiran jalan tapi yang enak. Tahu kan aku suka makan.
Lambat laun aku punya sahabat dalam suka dan duka. Pernah kami bandel sengaja tak mengerjakan tugas dari dosen. Kelompok kami malah pergi jalan-jalan ke Plaza Senayan. Sang dosen rupanya melihat kami waktu kami kabur. Akhirnya kami meminta maaf dan esok harinya kami mengerjakan tugas itu dengan sepenuh hati. Mungkin kami bisa lah dapat nilai A, tapi karena bandel, ya dikurangi jadi B.
Teman-teman sangat perhatian terhadap aku. Kadang mereka membawakan aku makanan, membelikan baju, atau apa saja yang menurut mereka bagus untuk aku. Pernah juga aku menginap di rumah teman selama seminggu lantaran rumah pamanku kebanjiran. Aku yang hanya anak perantau sampai tak enak hati membuat mereka susah. Kebaikan mereka memang tulus, dari aku bukan siapa-siapa sampai sekarang.
Mereka benar-benar sudah teruji.
Di antara teman wanita, aku sempat dekat dengan seorang pria di kampus. Teman pergi ramai-ramai. Ya, saling ngasih perhatian saja. Enggak pacaran yang serius. Tapi Mami tahu aku lagi dekat dengan pria itu, tapi aku belum kenalkan ke Papi, karena kami enggak serius.
Jujur, aku malah belum pernah merasakan punya pacar beneran. Bagiku, pacar yang sesungguhnya adalah yang membuat aku sudah sreg banget. Nah, kalau itu aku berani memperkenalkan ke Papi. Soalnya Papi melindungi banget anak perempuannya. Jadi aku belum menemukan orang yang tepat.
No comments:
Post a Comment